Mesir Usulkan Gencatan Senjata Dua Hari antara Israel dan Hamas untuk Pembebasan Sandera

Kairo, mediarilisnusantara.com – Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sissi mengumumkan usulan gencatan senjata dua hari antara Israel dan Hamas dalam upaya membebaskan empat sandera yang ditahan di Gaza. Usulan ini disampaikan dalam konferensi pers bersama Presiden Aljazair Abdelmadjid Tebboune di Kairo pada Minggu (27/10/2024). Mesir berharap langkah ini akan membuka peluang bagi negosiasi gencatan senjata yang lebih permanen.

“Kami mengusulkan gencatan senjata di Jalur Gaza selama dua hari untuk pertukaran empat sandera (Israel) dengan beberapa tahanan (Palestina), dan kemudian negosiasi akan berlangsung selama sepuluh hari untuk menjadikan gencatan ini sebagai gencatan tetap,” ujar el-Sissi dalam konferensi tersebut.

Mesir, bersama Qatar sebagai mediator utama, terus mendorong upaya diplomatik untuk menghentikan konflik berkepanjangan antara Israel dan Hamas sejak meletusnya perang pada Oktober 2023. Ketegangan kian meningkat, terutama setelah serangan langsung Israel terhadap Iran, yang dianggap sebagai pendukung utama Hamas dan Hizbullah di Lebanon.
https://akcdn.detik.net.id/visual/2023/11/22/israel-hamas-bertukar-sandera-hasil-kesepakatan-gencatan-senjata-5_169.jpeg?w=480&q=90

Sandera Yang Ditahan IDF

Sumber: CNN Indonesia

Baca Juga: Shin Tae-yong Minta Dukungan Warga Korea Selatan untuk Dukung Indonesia Hadapi Jepang




Selain pembebasan sandera, proposal ini juga mencakup pembebasan sebagian tahanan Palestina oleh Israel dan pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza, yang mengalami blokade ketat. El-Sissi menekankan bahwa usulan ini bertujuan untuk “menggerakkan situasi ke arah yang lebih baik,” sementara negosiasi lebih lanjut akan diupayakan untuk mencapai gencatan senjata yang berkelanjutan, sebagaimana dilaporkan Associated Press pada Senin (28/10/2024).

Namun, pembicaraan terkait gencatan senjata yang lebih lama kerap menemui hambatan. Hamas menuntut penarikan mundur pasukan Israel dari Gaza sebagai prasyarat, sementara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa pasukan Israel akan tetap berada di Gaza sampai Hamas sepenuhnya dihancurkan.

Di tengah ketidakpastian diplomatik ini, Kepala Mossad Israel melakukan perjalanan ke Doha untuk bertemu dengan Perdana Menteri Qatar dan Kepala CIA AS sebagai upaya terbaru mengakhiri pertempuran dan mengurangi ketegangan kawasan. Ketegangan ini semakin memuncak setelah serangan Israel terhadap Iran akhir pekan lalu, menyusul serangan rudal balistik Iran sebelumnya bulan ini.

Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, mengomentari serangan tersebut dengan menyatakan bahwa aksi Israel “tidak perlu dibesar-besarkan atau diremehkan,” namun ia tidak menyerukan pembalasan secara langsung.

Baca Juga: Kemlu Pastikan Kondisi WNI di Iran Aman Pasca Serangan Udara Israel





Di sisi lain, Israel juga mengalami tekanan domestik. Dalam acara peringatan serangan 7 Oktober, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengakui bahwa “tidak semua tujuan dapat dicapai hanya melalui operasi militer,” dan menambahkan bahwa “kompromi yang menyakitkan akan diperlukan” untuk membebaskan para sandera. Di acara tersebut, Perdana Menteri Netanyahu menghadapi protes publik yang menyalahkan kegagalan pemerintahnya dalam menjaga keamanan dan membawa pulang para sandera.

Di Gaza, serangan Israel terus berlanjut, menewaskan setidaknya 33 orang, sebagian besar wanita dan anak-anak, menurut pejabat Palestina. Kondisi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk, dengan Sekretaris Jenderal PBB menyebutnya sebagai “tak tertahankan.”

Ketegangan antara Israel dan sekutunya dengan Iran dan kelompok pendukungnya seperti Hamas dan Hizbullah menunjukkan potensi eskalasi menjadi konflik regional. Meski begitu, upaya diplomatik dari Mesir dan Qatar tetap berlangsung meskipun tantangan perdamaian semakin rumit.

 

Sumber: Kompas.com

 

(Efrain)

Mungkin Anda Menyukai