JAKARTA, mediarilisnusantara.com – Modus operandi korupsi yang dilakukan oleh tersangka dalam kasus Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dikenal sebagai “tambal sulam.” Dalam praktik ini, pinjaman baru digunakan untuk menutup pinjaman lama, menciptakan siklus utang yang merugikan keuangan negara.
Pihak debitur yang terlibat diduga mendapatkan fasilitas kredit dari LPEI dengan menggunakan perusahaan lain miliknya, meskipun berstatus sebagai tersangka. Hal ini menunjukkan adanya penyalahgunaan sistem di mana pinjaman tidak digunakan untuk tujuan produktif, tetapi untuk menutupi kerugian dari pinjaman sebelumnya.
Baca Juga: Budi Arie: Korban Framing Jahat? Projo Berjuang Untuk Kebenaran
KPK telah menyita 44 aset, termasuk tanah dan bangunan, yang nilainya mencapai Rp200 miliar. Aset-aset ini tidak diagunkan dan menjadi bagian dari upaya pemulihan kerugian negara. Selain itu, penyidik KPK juga menemukan berbagai barang berharga lainnya selama proses penyidikan.
Baca Juga: Tom Lembong Menggugat: Sidang Praperadilan Pertama Digelar 18 November 2024
Kasus ini melibatkan tujuh tersangka, yang terdiri dari penyelenggara negara dan pihak swasta. KPK berkomitmen untuk terus menelusuri aset milik para tersangka guna memulihkan nilai kerugian negara akibat tindakan korupsi ini. Penyelidikan dimulai pada Maret 2024, dan KPK telah meningkatkan status kasus ini menjadi penyidikan pada Juli 2024.
KPK mengingatkan masyarakat agar tidak terjebak dalam janji-janji yang mengatasnamakan lembaga tersebut. Penegakan hukum akan terus dilakukan untuk memastikan semua pihak yang terlibat dimintai pertanggungjawaban.
(Tea)